Lololo Gak Bahaya Ta, Awalnya Inspirasi menjadi Imitasi?
oleh Ara WAF
Bayangan Panjang Mimesis
Saya kira, seorang seniman memang dituntut untuk berkreasi melampaui kreativitas manusia. Ketika seorang seniman berhasil menembus pintu-pintu kuratorial pada pameran yang bergengsi, semestinya ada jaminan bahwa seniman tersebut memiliki integritas dalam berkarya.
Memang benar bahwa sangat mustahil jika seorang seniman menciptakan hal yang benar-benar baru, karena tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Para filsuf Yunani memandangnya sebagai mimesis atau peniruan. Aristoteles melihatnya sebagai jalan manusia menuju katarsis, sementara Plato dengan sinis menyebut karya seni hanyalah tiruan dari tiruan, sebuah cerminan yang barangkali bisa menyesatkan. Tetapi bagaimana jika karya seni meniru karya seni lain dengan jejak yang nyaris tampak terlalu jelas?
Bisik-bisik di Bawah Tanah
Belakangan ini terdengar bisik-bisik hangat di antara pegiat seni. Seorang perupa diduga mengambil secara mentah karya orang lain dengan bukti yang tak terelakkan. Bisik-bisik soal kemiripan itu kian nyaring ketika seniman yang dipersoalkan menembus berbagai pameran bergengsi dan dipayungi oleh platform seni rupa terbesar di Indonesia.
Isu ini dianggap melampaui preferensi estetika. Ini menyangkut etika produksi artistik dan tanggung jawab kolektif—seniman, pembimbing tugas akhir, kurator, dan penyelenggara. Ketika seorang lulusan institusi seni berkali-kali menampilkan karya yang diduga sangat serupa dengan karya pihak lain, tentu publik semakin dibingungkan dengan batasan “kebolehan” dalam mengambil referensi terhadap pengkaryaan. Ini bisa saja membuat publik berpikir bahwa membuat karya seni semudah mengimitasi karya yang sudah ada.
Jejak yang Terlalu Mirip
Sebutlah Aftonul Ilmi, seorang seniman asal Tuban, jebolan salah satu kampus seni di Surabaya, yang karyanya sudah mejeng dua kali di ARTSUBS. Lebih dari itu, karya-karyanya juga ditampilkan secara gamblang di website IndoArtNow, sebuah platform besar seni rupa yang bertujuan untuk mengenalkan seni kontemporer Indonesia. Memang benar, beberapa objek mungkin dikaburkan, diganti, bahkan dipindah. Namun tak mengelak bahwa kemiripan Ilmi dengan seniman Inggris, Lewis Chamberlain, ini nyaris identik.
Gambar di bawah ini merupakan salah satu perbandingannya. Lewis Chamberlain membuat karya di sebelah kanan pada tahun 2021, lalu muncul karya serupa di pameran lokal, tepatnya Final Countdown Exhibition 2024, Pethak Artspace, tiga tahun kemudian—yang bahkan di posting dalam website IndoArtNow—dengan komposisi, volume, tata cahaya, serta penempatan objek yang begitu khas dan familiar.
Sebuah rumah kecil berada dalam kardus, yang berbeda hanyalah detail seperti pengurangan cerobong asap dan penambahan boneka beruang. Sedangkan bentuk kardus, arah datangnya cahaya, hingga penggambaran bayangan sangat persis. Apakah ini hanyalah sebuah kebetulan belaka?

(sumber: https://indoartnow.com/artists/aftonul-ilmi / https://www.instagram.com/p/CL96OGSHVK7/?igsh=aW5sanpwYWhvaHZi)
Tak berhenti di situ, beberapa karya Ilmi yang lain tampak memunculkan keidentikan dengan karya Lewis. Berikut adalah beberapa contoh yang diambil dari website IndoArtNow, website pelelangan Siddharta, dan Instagram pribadi kedua seniman.

(sumber: https://auctions.sidharta-auctioneer.com/lots/view/4-B5V1L1/muhammad-aftonul-ilmi-b-tuban-e-java-1997-snow-globe / https://www.instagram.com/p/CQwYDxOrGxM/?igsh=YjBmYXptM29kY3pp)

(sumber: https://indoartnow.com/artists/aftonul-ilmi / https://www.instagram.com/p/CIoSzknnWVh/?igsh=aHFpOWpibm51Mjc=)

(sumber: https://www.instagram.com/s/aGlnaGxpZ2h0OjE3ODc4ODk4MDA2NTA0NzY1?story_media_id=3136495183650906691_5801377993&igsh=MW5yaDBpdGM4NGxobQ== / https://www.instagram.com/p/CZh2O_ULJeD/?igsh=eGIwY3NlaTBid3Zh)
Menurut saya, ini bukanlah satu kebetulan yang jinak. Polanya berulang pada beberapa karya dari seniman yang sama, hanya berganti objek figur dan penghapusan detail dengan formula yang sama, terlebih karya-karya yang tercantum di sebuah situs promosi seni kontemporer Indonesia, IndoArtNow, hampir semuanya mempunyai perbandingan dengan karya Lewis Chamberlain.
Krisis Kurasi dan Kredibilitas
Wajar apabila publik membaca ini sebagai kemiripan dan mempertanyakan sistem kurasi seni rupa terhadap lembaga-lembaga tersebut, sehingga pertanyaannya bukan hanya tentang mirip atau tidak, melainkan bagaimana bisa karya seperti ini lolos dalam kurasi berulang kali?
Sampai pada akhirnya, ARTSUBS 2025 kembali menggandeng Ilmi sebagai salah satu perupa, lagi-lagi menggunakan formula pengkaryaan milik Lewis. Ilmi menampilkan sebuah komposisi berupa gedung-gedung menjulang dengan pepohonan samar di belakangnya, serta perahu kertas kecil di bagian depan beserta kertas putih yang menyerupai jalan. Dari segi atmosfer, karya ini kembali mengandalkan ruang hitam pekat dengan pencahayaan teatrikal yang menjadi ciri khas Chamberlain.
Elemen-elemen yang dihadirkan Ilmi malah membuat kesan seolah-olah hanya “pergantian aktor” dengan format panggung yang sama. Dengan kata lain, meski objek yang dihadirkan berbeda, tak mengelak bahwa formula komposisi, cahaya, dan negative space yang diterapkan masih identik dengan milik Chamberlain.

(sumber: https://katalog.artsubs.co/seniman/aftonul-ilmi)
Secara teknis, tentu Ilmi memiliki keterampilan drawing yang solid sebagai perupa. Sangat disayangkan keterampilan itu terlihat seolah tumpul ide jika terus bergantung pada formula pinjaman. Alih-alih memperlihatkan perkembangan artistik, yang tampak hanyalah repetisi yang seolah membatasi kemungkinan eksplorasi lebih luas.
Ketika sesuatu itu dilatarbelakangi oleh pengaruh, yakni sangat manusiawi mengingat tidak ada orisinalitas murni di dunia ini, tetapi pengaruh itu idealnya memekarkan ke arah perbedaan dan kebaruan, bukan mengulang sesuatu yang sama dengan mengganti detail permukaan belaka. Apa yang sebenarnya membatasi kreativitas Ilmi sebagai perupa?
Pertanyaan yang kurang lebih sama berlaku terhadap penyelenggara pameran, lelang, pun media besar yang menggandeng dan mempromosikan sang seniman. Apakah terjadi kelalaian riset kuratorial, atau ada praktik yang sengaja mengaburkan sumber? Kemudian, apabila memang mengaburkan sumber karena dirasa tidak banyak yang menyadari, apa pertimbangan penyelenggara untuk tetap menampilkan karya-karya tersebut?
Tanda tanya berikutnya menyasar dapur kurasi. Jika panggung pameran lebih mengutamakan daya jual ketimbang memeriksa asal-usul gagasan, kredibilitas lembaga ikut tergerus dan ini akan mengakibatkan kepercayaan yang miring terhadap lembaga. Maka disinilah diperlukan evaluasi besar-besaran, terlebih dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, seharusnya melakukan riset jauh lebih mudah.
Integritas yang Dipertaruhkan
Ini adalah sebuah keheranan besar di kalangan penikmat dan pelaku seni. Sebagaimana yang saya bayangkan, ketika seorang seniman digandeng oleh galeri maupun project besar, maka seniman itu mempunyai nilai dan integritas yang memang layak dan tinggi.
Persoalan ini tidak akan naik apabila tanahnya masih dalam tahap pembelajaran. Betul, memang, seorang seniman seumur hidupnya adalah belajar dan berkembang. Namun ketika karya-karya mimesis tersebut sudah terpublikasi secara luas, itu berubah menjadi persoalan kredibilitas, bukan lagi soal pencarian karakteristik.
Jika karya-karya yang dihadirkan hanya berputar pada formula pengulangan, maka posisi seniman itu sendiri terancam direduksi, bukan lagi sebagai penggagas ide, melainkan sekadar pengulang teknik. Pada titik ini, yang dipertaruhkan bukan hanya integritas seniman, tetapi juga kepercayaan publik terhadap kurator, galeri, dan institusi seni yang semestinya menjaga standar.
Setuju banget, kecuali ada narasi sebagai voice yang kuat (misal, untuk bahan belajar dll)