BENGKELGAYAISUKARYANAMPANGRUPASENIMANSOSIALSPIRITUALTAPAK TILAS

“Pada situasi yang disebut Jouska”

Pameran Tunggal ke 3 Unartifisial

Oleh: Kevin Alfirdaus*

Unartifisial a.k.a Bambang Suprapto, seorang melancholic daydreamer. Dia sedang berkemas untuk bertanya mengenai konflik Palestina yang tak kunjung berhenti kepada Junieawanbagaskara, seorang seniman yang memiliki politik kebudayaan pada perjuangan orang-orang yang Gaza dan Rafah akhir-akhir ini. Pada hari yang sama, Unartifisial mengaku segera ingin merampungkan beberapa lukisan yang belum selesai. Di sekitar tepian Makam Samaan, tempat tinggalnya kost-kostannya bertahun-tahun, beberapa warga ramah dalam menyambut tamu dengan senyum. Saya datang ke kamar studio seni milik Unartifisial tanpa ekspetasi apapun. Kamarnya memiliki berbagai suasana yang mencekam. Semua terlihat bagaimana Lukisan-lukisan besar berukuran 100 x 50 cm sampai 145 x 10 cm yang tak tersusun tidak rapih. Tapi tetap indah; sebab tidak semua orang mampu untuk sampai pada titik tersebut. “Apakah ini cukup?” tanyanya. “Saya rasa cukup” jawabku yang masih melihat lukisannya yang berjudul ‘Malam, setelah Pertarungan’. Wajahku tertegun pada lukisan yang belum selesai tersebut. Belum lagi, cahaya matahari menyinari ujung canvas sehingga membuatnya terlihat bersinar. “Mari kita bicara tentang Jouska, Mas Nip”

Di dunia yang sulit diucapkan lewat verbal, bahkan dengan tindakan sekalipun, terdengar relevan jika Jouska dialami oleh anak-anak muda. Sebetulnya, agak sulit untuk mencari bahan literatur “Jouska” dalam akademik. Jouska ialah suatu hipotetis yang timbul dari muatan yang terkumpul di “dalam pikiran” seperti opini, percakapan, dan upaya menjawab dialog yang sempat ditanyakan pada diri sendiri, lalu dijawab oleh diri sendiri juga. Fenomena yang disebut oleh bahasa Psikolog sebagai Jouska – self talk ini sering terjadi kepada banyak orang, namun secara bahasa medis, fenomena tersebut sulit digambarkan karena tergolong sebagai fenomena yang unik. Fenomena berbincang pada diri sendiri tidak hanya terjadi pada kesehatan mental saja, terkadang juga secara alamiah manusia melakukan hal tersebut tanpa disadari.

Berbeda dengan Hikikomori (penarikan diri dari dunia luar secara ekstrim), Jouska mungkin adalah proses di mana seseorang memiliki pengalaman traumatis yang ringan. Namun bedanya, Jouska tidak banyak disadari sebagai situasi yang rentan. Kita hidup di mana keseragaman kolektif dan ketakutan menimbulkan rasa malu sosial dan juga perundungan yang besar. Masalah penarikan diri dari dunia luar sudah disadari oleh orang tua kandung di Jepang di tahun 1990-an untuk membatasi dan mencegah masa muda mereka dalam mencapai tujuan individu (the conservation : 2/6/2023). Hal itu juga membuat banyak anak muda menyembunyikan rasa malunya jika gagal dalam memenuhi ekspetasi orang dewasa. Lebih ekstrimnya lagi, mereka tidak muncul kembali ke publik. Unartifisial memberi arti penting dalam proses pengkarayaannya. Semenjak ia bercerita bagaimana pengalamannya dalam membaca White Night karya Fyodor Dostoyevsky, dan bagaimana seseorang bisa berbicara dengan diri sendiri; pada benda-benda tak bernyawa, hingga membayangkan sesuatu yang mati itu hidup – membuat saya terpikir sepanjang waktu saat berada di studio seni milik Unartifisial. Ya, saya tidak benar- benar berhenti dalam memikirkannya.

Bambang Suprapto adalah seniman yang cekatan dengan suatu emosi dan peka terhadap naruliahnya. Saya benar-benar merasa memiliki beban banyak ketika saya memutuskan untuk tidak membuka kabin kamar studio itu karena merenungi banyak hal setelah melihat lukisan bercahaya itu. Dia melukis, barangkali namanya self potrait? dengan perpaduan Ekspresionisme dan Impresionisme lewat goresan warna dominan biru, putih, dan merah – lalu pada suatu judul-judul karya dengan objek, tubuh, dan wacana, membuat saya teringat pada konsep penting pengkaryaan filsuf Perancis Kontemporer bernama Jacques Ranciere. Imajinasi yang mutlidimensi ini berhasil mematahkan ekspetasi sensorik saya. Pada titik fokus tertentu, estetika itu mengintervensi pengalaman saya (yang jelas berbeda) dan mungkin secara terang-terangan, saya dapat mengatakan bahwa ekspresi akan tatapan mata dari lukisan-lukisan milik Unartifisial berhasil membongkar keheningan saya. Pengkaryaan yang penuh konfigurasi, yang cermat, dan detail, bagi saya; berhasil mengungkapkan suatu pengalaman, peristiwa, ruang dan juga waktu yang coba pelukis imajinasikan. Dari tempat yang sedikit bercahaya saat siang, dan redup secara keseluruhan ketika malam, membuatnya menjadi pelukis hingga pada tahap yang sangat intuitif tanpa rasa takut. Saya percaya, ia memiliki keyakinan akan suatu hal yang sulit kita pahami.

Pengunjung memandang karya “Jemu Datang, untuk Tenang”

Barangkali, luka akan perpisahan itu masih cukup lembut untuk dialih bahasakan dalam teks. Bagi saya, pameran ini bukan hanya perasaan personal pembuat karya; melainkan situasi orang banyak yang sama merasakannya. Ada situasi di mana pemahaman seseorang terkait rasa hampa, kesendirian, berbicara dengan diri sendiri, dan juga tubuh manusia yang merasakan tinggal di ‘suatu kota tanpa orang lain’ itu terkumpul menjadi satu di dalam kepala.

“kadang-kadang ingin sekali suatu pagi
melihat ia datang menyodorkan sehelai map
berisi surat permohonan cuti. Ia ingin pergi
ke satu tempat yang jauh mengasingkan diri
beberapa hari di awal desember yang lembab
sembari merayakan hari ulang tahun sendiri.
lalu di depan pintu kantor terpasang tanda
berwarna merah : tutup”
“KEPALAKU: KANTOR PALING SIBUK DI DUNIA” tulis Aan Mansyur di buku Puisi terbaru yang berjudul me-masihkan yang pernah.

Mari kita bayangkan jika Jouska adalah suatu dunia yang khusus dan tersendiri. Anda dapat menyumpahi Kroni-kroni Israel dalam menghentikan pembunuhan yang terjadi pada anak-anak Gaza selama 224 hari yang tak terhentikan ini. Tetapi peperangan dan kekuasaan telah merampas imajinasi kita, layaknya masalah yang terjadi pada diri sendiri; Alternatif akan cara yang dapat mengubah sesuatu dalam merespon percakapan pada diri sendiri adalah dengan suatu karya dan aksi. Tentu, Jouska yang baik tidak menimbulkan rasa Prokratinasi (rasa untuk menunda-nunda penyelesaian). Unartifisial adalah salah satu dari sekian banyak yang “mampu” melakukan itu dan mengubahnya menjadi salah satu Seniman yang produktif.

Dari lamunan Maladaptif hingga mencapai sesuatu yang dapat dikontrol (maladaptivedaydreaming.medium.com). Unartifisial, pada kesempatan kali ini, berhasil membangun dunia imajiner meski harus melalui pembuatan alur cerita yang rumit. Lewat keberanian dan kreativitasnya, mungkin, segala hal yang membingungkan tatkala kita mendapati situasi sosial yang penuh hening dan kehampaan bisa berubah menjadi Seniman yang terus hidup dan bertahan (meski dalam keadaan apapun). Tentang sesuatu yang buruk di masa lalu; biarkan mereka pergi, biarkan semuanya berlalu. Dan tentang semua hal yang akan datang; kehidupan baru harus tetap dijalani. Bisa jadi, situasi tersebut terus memaksa kita untuk melangkah – mendapati – atau bahkan melepaskannya lalu menerimanya. Menjadikan siapapun memiliki kelahiran baru di dunia (tanpa fisik baru dan usia).

Unartifisial berharap anda yang membaca keseluruhan teks pada kuratorial ini dapat menciptakan pengalaman bersama.

Malang, 30 Mei 2024
*Sang Seniman Bambang Suprapto @Unartifisial dan Sang Kurator Kevin Alfirdaus @Decleyre_ bersama karya solo exhibiton #DialogDenganDiri di Toko Buku Togamas Dieng Malang

Kevin Alfirdaus
Kurator | + posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *